BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari, perilaku riba ternyata telah
membudaya. Kurangnya pengetahuan tentang riba, hukum – hukum yang mendasari riba, sebab – sebab
diharamkannya riba, pembagian riba, hal - hal yang menyebabkan riba serta dampak yang ditimbulkan oleh riba tersebut.
Riba merupakan pendapatan yang di peroleh
secara tidak adil. Riba telah berkembang sejak zaman Jahiliyah
hingga sekarang ini. Sejak itu banyaknya masalah-masalah ekonomi yang terjadi
di masyarakat dan telah menjadi tradisi bangsa arab terhadap jual beli maupun
pinjam-meminjam barang dan jasa. Sehingga sudah mendarah daging, bangsa arab
memberikan pinjaman kepada seseorang dan memungut biaya jauh di atas dari
pinjaman awal yang di berikan kepada peminjam akibatnya banyaknya orang lupa
akan larangan riba.
Sejak datangnya Islam di masa Rasullullah SAW. Islam telah melarang adanya riba. Karena
sudah mendarah daging, Allah SWT melarang riba secara bertahap. Allah SWT
melaknat hamba-hambanya bagi yang melakukan perbuatan riba. Perlu adanya pemahaman yang luas,
agar tidak terjerumus dalam riba. Karena riba menyebabkan tidak terwujudnya kesejahteraan masyarakat secara
menyeluruh.
B.
Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian
bunga atau riba?
2. Bagaimana konsep perekonomian
tanpa bunga atau riba?
C.
Tujuan Pembahasan
1.
Untuk mengetahui pengertian bunga atau riba.
2. Untuk
mengetahui konsep
perekonomian tanpa bunga atau riba.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Menjelaskan
Pengertian Bunga atau Riba.
1.
Al Quran Tentang Bunga/Riba
Di masa awal munculnya
Islam, bunga telah ada di dalam masyarakat Arab baik dalam transaksi pinjaman
uang atau barter komoditas, sehingga bunga telah mengakar dalam kehidupan
ekonomi masyarakat, maka dalam melarang bunga Al Qur’an diwahyukan secara
berangsur-angsur, sehingga kehidupan masyarakat tidak mendadak kacau. Ayat-ayat
Al Qur’an yang berhubungan dengan bunga, yaitu:
1. Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdirimelainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena (tekanan) penyakit gila.
Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba.
Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barang siapa
mendapatkan peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah
diperolehnya dahulu menjadi miliknya, dan urusannya (terserah) kepada Allah.
Barang siapa yang mengulangi (mengambil riba), maka mereka itu penghuni neraka,
mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Allah
tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan
bergelimang dosa. (QS. Al-Baqarah : 275-276)
2. Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka
jika
kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan
Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba),
maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.
(QS. Al-Baqarah: 278-279)
3. Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memakan riba
dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu
mendapat keberuntungan.
(QS. Ali-‘Imran :
130)
4. Dan disebabkan mereka memakan riba,
padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka
memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk
orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih. (QS.
An-Nisaa’: 161)
5. Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta
manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi
Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk
mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang
melipat gandakan (pahalanya). (QS. Ar-Ruum:
39)
Penjelasan
ayat-ayat tersebut:
Riba
itu ada dua macam: Nasi'ah dan Fadhl. Riba Nasiah adalah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang
meminjamkan. Riba Fadhl adalah
penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak
jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran
emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam
ayat ini Riba nasiah yang umum terjadi di masyarakat Arab zaman jahiliyah.
Riba
yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.
Yang dimaksud dengan memusnahkan riba ialah memusnahkan harta itu atau
meniadakan berkahnya. Sedangkan yang dimaksud dengan menyuburkan sedekah ialah
mengembangkan harta yang telah dikeluarkan sedekahnya atau melipat gandakan
pahalanya serta memberkahi harta itu. Maksudnya ialah orang-orang yang
menghalalkan riba dan tetap melakukannya. Yang dimaksud riba di sini ialah
riba nasi’ah. Menurut sebagian besar ulama bahwa riba nasi’ah itu selamanya
haram, walaupun tidak berlipat ganda.
Ø Al Qur’an Surat Ar-Ruum : 39 menjelaskan mengenai bunga dibandingkan dengan
zakat, bahwa bunga tidak menambah harta tetapi mengurangi zakat meningkatkan
harta secara berlipat-lipat.
Ø Al Qur’an Surat Ali-‘Imran : 130 menjelaskan larangan untuk tidak memakan bunga
yang berlipat hinga dua atau empat kali jumlah asal pinjaman.
Ø Al Qur’an Surat An-Nisaa’: 161 menjelaskan agar kaum Muslimin mematuhi perintah
Al Qur’an mengenai pelarangan bunga agar tidak menderita seperti kaum Yahudi
yang melanggar larangan bunga.
Ø Al Qur’an Surat Al-Baqarah : 275-276 dan
278-279, menjelaskan tentang perbedaan antara perdagangan (bai’) dan bunga (riba),
mengutuk bunga dan pemakannya dan memuji keberkahan sedekah, dan melarang
pemungutan bunga.
2.
Hadis-Hadis Nabi Muhammad SAW Tentang Bunga
1. Abu Sa’id
Al-Khudri meriwayatkan, bahwa Rasululloh SAW bersabda: “Emas
untuk emas, perak untuk perak, gandum untuk gandum, bur untuk bur, kurma untuk
kurma, garam untuk garam, sama setara tunai. Barang siapa memberi atau
mengambil lebih, maka baik pemberi maupun penerima sama-sama mengambil riba”. (Muslim)
2. Abu Sa’id
Al-Khudri meriwayatkan, bahwa Rasululloh SAW bersabda: “Jangan
kalian menjual emas dengan emas kecuali yang sama beratnya, janganlah kalian
melebihkan sebagian diatas sebagian yang lain, janganlah kalian menjual perak
dengan perak kecuali yang sama beratnya dan janganlah kalian melebihkan
sebagian diatas sebagian yang lain, dan janganlah kalian yang tidak ada
diantara barang-barang itu dengan yang ada”. (Muttafaq ‘alaih). Di dalam riwayat lain disebutkan : “Jangan
menukar emas dengan emas, perak dengan perak kecuali yang sama beratnya”. (Bukhori dan Muslim)
3. Abu Sa’id
Al-Khudri meriwayatkan, bahwa Bilal datang kepada Rasulullloh SAW sambil menyerahkan kurma Barny’. Lalu Nabi Muhammad SAW bertanya kepadanya, “Dari mana engkau mendapatkan kurma
ini?”
Bilal menjawab, “Tadinya kami mempunyai kurma yang kulitasnya rendah, lalu saya menukar dua sha’ dengan satu
sha’ kurma Barny”, Kemudian
Nabi bersabda, “Masya Allah. Ini adalah riba yang sebenarnya, janganlah engkau
melakukannya, tapi jika kamu mau membeli, juallah dahulu kurmamu itu kemudian
kamu beli kurma yang kamu inginkan”. (Bukhori dan Muslim)
4. Usamah bin Zaid meriwayatkan, bahwa Rasululloh SAW bersabda: “Riba
ada dalam janji”. Di dalam riwayat lain disebutkan : “Tidak ada riba dalam pertukaran
tunai”. (Bukhori dan Muslim)
5. Umar bin
Al-Khatthab Radiallahu ‘Anhu, meriwayatkan, bahwa
Rasululloh SAW bersabda: “Jual
beli emas dengan emas adalah riba kecuali secara tunai, perak dengan perak
adalah riba kecuali dengan tunai, biji gandum dengan gandum adalah riba kecuali
secara tunai, tepung gandum dengan tepung gandum adalah riba kecuali transaksi secara tunai”. (Bukhori dan Muslim)
6. Abu Said al-Khudry dan Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa
Rasululloh SAW
mengangkat seorang amil zakat untuk daerah Khaibar. Ia kemudian membawa kepada
beliau kurma yang bagus; Lalu Rasulullah SAW bertanya: "Apakah setiap kurma Khaibar seperti
ini?". Ia menjawab: “Demi Allah
tidak, wahai Rasulullah. Kami menukar satu sho' seperti ini dengan dua sho',
dan dua sho' dengan tiga sho”. Lalu Rasulullah SAW
bersabda: "Jangan
lakukan itu, juallah semuanya dengan dirham, kemudian belilah kurma yang bagus
dengan dirham tersebut." Beliau bersabda: "Demikian juga dengan benda-benda yang ditimbang
juga sama seperti itu." (Muslim)
7. Abu Sa’id
Al-Khudri meriwayatkan, bahwa Rasululloh SAW bersabda: “Jangan menukar dua sha’ kurma dengan satu sha’ kurma dan jangan pula
menukar dua dirham dengan satu dirham karena itu adalah riba”. (Bukhori)
8. Disampaikan oleh Abu Bakar bahwa Rasululloh SAW bersabda: “Jangan menjual perak dengan perak, emas dengan emas kecuali dengan
berat yang sama, dan memerintahkan agar kami membeli emas dengan perak menurut
kehendak kami”. (Bukhori)
9. Abu Sa’id
Al-Khudri meriwayatkan, bahwa Rasululloh SAW bersabda: “Jangan
kalian menjual emas dengan emas dan perak dengan perak kecuali jika
kuantitasnya sama, dan jangan pula dengan jenis yang sama dalam kuntitas yang
kurang, dan janganlah
kalian menukar
yang ada dengan yang tidak ada”. (Bukhori)
10. Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa Rasululloh SAW bersabda: “Juallah
satu dirham dengan satu dirham, jangan lebih”. (Al-Muwattha’)
11. Utsman meriwayatkan, bahwa Rasululloh SAW bersabda: “Jangan
menjual satu dinar dengan dua dinar, satu dirham dengan satu dirham”. (Al-Muwattha’)
12. Abu Sa’id
Al-Khudri meriwayatkan, bahwa Bilal datang kepada Rasulullloh SAW sambil menyerahkan kurma hijau.
Lalu Nabi Muhammad SAW bertanya
kepadanya, “Dari mana engkau mendapatkan kurma ini?” Bilal
menjawab, “Kami mempunyai kurma yang kulitasnya rendah, lalu kamimenukar dua sha’ darinya dengan
satu sha’ kurma kurma berkualitas baik ini”, Kemudian
Nabi bersabda, “Masya Allah. Ini adalah riba yang sebenarnya, janganlah
engkau melakukannya, tapi jika kamu mau membeli, juallah dahulu kurmamu itu
kemudian kamu beli kurma yang kualitasnya baik”. (Bukhori)
13. Sa'ad
Ibnu Abi Waqqash berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW ditanya tentang hukumnya
membeli kurma basah dengan kurma kering. Beliau bersabda: "Apakah kurma basah itu berkurang jika mengering?". Ia
menjawab: “Ya. Lalu beliau melarang hal itu”. (Malik, Tirmidzi, Abu Dawud,
Nasai, dan Ibnu Majah)
14. Samurah bin Jundub meriwayatkan, bahwa Rasululloh SAW, melarang pertukaran binatang dengan binatang dengan
janji”. (Tirmidzi,
Abu Dawud, dan Nasa’i)
15. “Jabir melaporkan bahwa Nabi Muhammad SAW
melarang pertukaran kurma subrah yang takaranya tidak diketahui dengan yang
takarannya jelas”. (Muslim)
16. Abu
Hurairah meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW berkata, “Pada malam perjalanan Mi’raj,
aku melihat orang-orang yang perut mereka seperti rumah, di dalamnya terpenuhi
oleh ular-ular yang kelihatan dari luar”. Aku bertanya kepada
Jibril “Siapakah
mereka itu. Jibril menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang memakan riba.”
(Ahmad dan Ibnu Majah)
17. Umar bin
Al-Khatthab Radiallahu ‘Anhu, meriwayatkan, “ Yang terakhir diwahyukan adalah ayat tentang riba, maka berhentilah
memakan riba”.
18. Abdullah bin Handhalah
melaporkan bahwa Rasululloh SAW bersabda: “Satu dirham riba yang diambi oleh seseorang dengan sengaja lebih
besar dosanya dari pada 36 kali berzina”. (Ahmad dan Daruqutni)
19. Abu
Hurairah meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Riba itu mengadung tujuh puluh macam dosa dan riba
yang paling ringan dosanya ialah seperti dosanya seseorang yang berzina dengan
ibunya sendiri.”(Abu Dawud dan Ibnu Majah)
20. Ibnu Masud meriwayatkan, bahwa
Rasulullah SAW bersabda,
“Walaupun riba meningkatkan harta, pada akhirnya akan mengarah pada
penggurangan.”(Ibnu Majah)
21. Jabir meriwayatkan bahwa
Rasulullah “Mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya,
dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya”. Kemudian
beliau bersabda, “Mereka itu semuanya sama (dalam
dosa).”
(Muslim)
22. Nabi
Muhammad dalam haji wada’ dalam khotbah terakhirnya bersabda: “ Segala bentuk harga (riba) telah dihapus,
hanya modalmu saja yang boleh kamu miliki, jangan menzalimi maka kamu tidak
akan dizalimi. Allah telah memberikan perintah bahwa bunga itu di haramkan
secara total. Riba yang pertamaaku hapus adalah ribayang harus dibayarkan
kepada ‘Abbas bin ‘Abdul Muthalib.”
23. Abu
Hurairah meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Akan dating
suatu masaketika tak seorang pun yang tidak makan bunga. Jika ia tak makan
bunga, maka ia akan terkena debunya.” (Ahmad, Abu Dawud,
Nasa’i, dan Ibnu Majah)
Kesimpulan dari hadist tersebut adalah :
1)
Barter tidak disukai, karena berpotensi mengandung
riba.
2)
Riba lebih jahat dari pada perzinaan.
3)
Nabi Muhmmad secara tegas menghapus bunga dalam sistem
ekonomi Islam.
4)
Bukan hanya makan bunga saja yang di haramkan,
melainkan segala sesuatu yang berhubungan dengan bunga juga haram, seperti
membayar bunga, menuliskannya dan menjadi saksinya.
3.
Jenis-Jenis Riba di Masa
Kehadiran Islam
Ada dua macam riba yaitu: riba nasi’ah (pinjaman uang) dan riba fadhl (transaksi barter).
1) Riba Nasi’ah
Riba Nasi’ah
berarti bunga yang dikenankan pada uang pinjaman. Contoh riba nasi’ah: di zaman Jahiliah jika seorang debitur berutang
kepada kreditur, tetapi tidak punya uang untuk melunasi ketika jatuh tempo,
maka ia akan meminta tambahan waktu kepada kreditur atau pemberi utang.
Kreditur mengabulkan permintaan itu tetapi jumlah utang pokoknya diperbesar
sehingga waktu diperpanjang dan jumlah utang juga diperbesar. Tambahan atas
utang pokok itu yang disebut riba. Riba
nasi’ah mengandung tiga elemen yaitu:
a.
Kelebihan dari
utang pokok.
b.
Menentukan
besarnya kelebihan dalam hubungan waktu.
c.
Kelebihan
tersebut menjadi syarat berlangsungnya transaksi.
2) Riba Fadhl
Riba Fadhl
adalah nama bunga pada transaksi komoditas terletak pada pembayaran tambahan
pada debitur kepada kreditur dalam pertukaran komoditas sejenis seperti gandum
dengan gandum, bur dengan bur, kurma dengan kurma,dll. Unsur-unsur riba fadhl, yaitu:
a. Keduanya barang yang dipertukarkan adalah homogeny
atau sejenis, seperti emas dengan emas, jagung dengan jagung.
b. Jumlah keduanya berbeda dalam timbangan maupu takaran.
c. Transaksi tidak berlangsung secara tunai.
4.
Apakah
Riba itu?
1)
Menurut
Muhammad Asad.
Dalam
pengertian terminologi yang umum,istilah tersebut bermakna “tambahan” kepada atau
“kenaikan” dari sesuatu melebihi dan di atas jumlah atau ukurannya yang asal.
Dalam terminologi Al-Qur’an,
istilah riba itu menunjukkan
tambahan
apapun, melalui bunga, terhadap sejumlah uang atau barang yang dipinjamkan oleh
seseorang atau lembaga kepada orang atau lembaga lain. Mengingat masalah ini,
dalam hubungannya dengan situasi ekonomi yang berlaku luas pada atau sebelum
masa itu, sebagian besar fuqaha zaman dahulu melihat “tambahan” ini sebagai
‘laba’ yang diperoleh malalui pinjaman-berbunga apa pun juga, tidak tergantung
pada tingkat bunga dan motivasi ekonominya.
2)
Menurut
Syeh Abul A’la al-Mauludi.
Kata
Arab ‘riba’ secara literal, berarti “peningkatan atas” atau “tambahan untuk” apa pun juga.
Secara teknis, istilah itu digunakan untuk menyebut sejumlah tambahan yang dikenakan
oleh kreditur kepada debitur secara tetap pada pokok utang yang ia
pinjamkan, yakni bunga. Pada masa diwahyukannya Al-Qur’an, bunga dipungut dengan
berbagai cara. Misalnya, seseorang menjual sesuatu dan menetapkan suatu jangka
waktu bagi pembayarannya, dan jika pembeli tidak mampu membayar dalam
waktu yang telah ditetapkan itu, maka ia diberi perpanjangan waktu
tetapi harus menambah jumlah uang yang ia harus bayarkan. Atau seseorang
meminjamkan sejumlah uang dan minta agar debitur melunasinya bersama dengan sejumlah
tambahan uang yang telah disepakati dalam periode waktu tertentu, atau
suatu tingkat bunga ditetapkan
untuk suatu masa tertentu dan
jika
pokok utang berikut bunganya tidak dibayar dalam jangka waktu tersebut, maka suku bunga dinaikkan
karena perpanjangan waktu tersebut, dan sebagainya.
3)
Menurut
Afzalur Rahman.
Afzalur
Rahman menerangkan arti riba secara rinci berdasarkan pendapat beberapa fukaha Islam
klasik sebagai berikut:
Ø Al-Qur’an
menggunakan kata riba untuk bunga. Menurut kamus, arti riba adalah kelebihan atau
peningkatan atau surflus, tetapi, dalam ilmu ekonomi, kata itu berarti surflus
pendapatan yang didapat oleh pemberi utang dari pengutang, lebih tinggi dan di atas
jumlah pokok utang, sebagai imbalan karena menunggu atau memisahkan bagian
yang likuid dari modalnya selama suatu jangka waktu tertentu.
Ø Riba,
di dalam Islam, secara khusus menunjuk pada kelebihan yang dituntut dengan suatu
cara tertentu. Ibnu Hajar al-Asqalani, ketika membicarakan riba, menyatakan bahwa
“intinya, riba adalah kelebihan, baik dalam komoditas (itu sendiri) atau pun dalam
uang, seperti dua dinar ditukarkan dengan tiga dinar.
Sesudah
menjelajahi ayat-ayat al-Qur’an, Hadis Nabi kaum Muslimin dan pandangan para ilmuan
Muslim, kita pun dapat memahami makna konsep Islam tentang riba. Ayat 276 surat 2
al-Baqarah (2) dalam al-Qur’an memerintah kita untuk menghentikan riba
sedang ayat 279 membolehkan pemberi utang mengambil kembali sejumlah pokok
utang yang dipinjamkannya, tidak lebih. Itu berarti bahwa riba adalah jumlah
(uang) yang dipungut oleh pemberi utang dari debitur di atasmodal yang dia
pinjamkan. Jumlah yang ditambahkan itulah yang dinyatakan haram oleh al-Qur’an.
Jadi, menurut al-Qur’an, setiap tambahan yang diperoleh di atas pokok utang adalah
‘riba’ berapa pun tinggi atau rendahnya suku bunga yang dikenakan itu dan untuk
apa utang itu diberikan.
Nabi
Muhammad, dalam hadis beliau, telah menerangkan dan menjelaskan bahwa unsur
riba itu didapati tidak hanya dalam pinjaman uang saja melainkan juga dalam
semua bentuk transaksi barter ketika seseorang menerima kelebihan dari barang
yang dipertukarkan. Dari khotbah Nabi yang beliau sampaikan waktu haji
perpisahan (haji wada’), dengan mudah kita dapat menemukan definisi
riba. Dalam khotbah tersebut, diriwayatkan bahwa Nabi bersabda: “Segala
bentuk ‘riba’ dihapus; hanya pokok modalmu saja yang menjadi hakmu; Janganlah menzalimi maka kamu
tidak akan dizalimi. Allah telah
memberikan
aturan bahwa bunga terlarang secara total. Bunga yang pertama saya hapus adalah bunga
(yang seharusnya dibayar orang kepada) ‘Abbas bin ‘Abdul Muthalib dan saya
nyatakan semua itu dihapus.” Jadi, semua bentuk riba telah dihapus oleh Nabi dan
pemberi utang hanya boleh menerima kembali jumlah pokok yang telah
dipinjamkannya, yang bermakna bahwa setiap tambahan terhadap jumlah pokok utang yang
dipinjamkan adalah riba’ tanpa melihat tinggi dan rendahnya suku bunga
yang dukenakan, dan tanpa melihat tujuan pemberian utang itu.
Sebagian
sarjana Liberal menyatakan bahwa Islam hanya melarang bunga yang terlalu tinggi
saja, yang dipungut oleh pemberi utang dari kaum miskin untuk tujuan konsumsi
kebutuhan pribadi mereka. Tetapi pandangan ini jelas keliru menurut pandangan
mayoritas sarjana Muslim modern yang menyatakan bahwa riba mencakup semua
bentuk bunga atas pinjaman, tanpa melihat tujuan pengambilan utang itu,
tanpa melihat pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi bunga itu, dan tanpa
melihat pula tinggi rendahnya suku bunga maupun jangka waktunya.
5.
Bunga
dan Perdagangan
Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka mereka kekal di dalamnya. (QS Al-Baqarah: 275)
Allah
menghalakan perdagangan dan mengharamkan riba karena :
1. Di dalam
perdagangan sesorang menerima laba sebagai hasil dari insentif, keberanian
berusaha, efisiensi, dan kerja keras.
2. Bunga tidak
diperoleh dari kerja keras maupun proses penciptaan nilai apapun.
3. Bunga bukan
merupakan imbalan bagi tenaga kerja, bahkan merupakan pendapatan yang didapat
tanpa bekerja sama sekali.
4. Bunga
bersifat tetap, sedangkan laba bersifat fluktuasi.
5. Dalam
perdagangan ada resiko rugi, tetapi dalam bunga pemberi utang mendapatkan sejumlah
uang tanpa perduli apakah peminjam mendapatkan laba atau menderita kerugian.
6.
Bunga
dan Zakat
Allah memusnahkan riba dan
menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam
kekafiran, dan selalu berbuat dosa. (QS Al-Baqarah : 276)
Dan
sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta
manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka
(yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).
(QS. Rum : 39)
Sedekah membimbing kearah
perkembangan ekonomi dan menarik rahmat Allah, sedangkan bunga menahan
pertumbuhan ekonomi dan membahayakan kemakmuran nasional seperti inflasi,
pengangguran, distribusi kekayaan yang tidak merata, dan resesi. Zakat
menunjang pertumbuhan ekonomi dengan dua cara, yaitu:
1) Zakat
mencegah penimbunan kekayaan dan mendorong sirkulasi investasi.
2) Zakat di
pungut dari si kaya yang jumlahnya sedikit kepada si miskin yang jumlahnya
banyak, sehingga meningkatkan daya beli masyarakat miskin.
7.
Bunga
dan Sewa
Perbedaan
antara bunga dengan sewa, yaitu:
1) Sewa adalah
hasil dari insentif, keberanian berusaha, dan efisiensi. Hasil itu didapat
setelah terjadinya proses penciptaan nilai, karena pemilik barang atau asset
terlibat dalam pemanfaatan oleh pengguna. Sedangkan bunga pemberi utang tidak
terkait dengan penggunaan uang yang pinjaman itu sesudah pinjamannya dirasa
aman dan bunga yang akan diterimanya terjamin.
2) Dalam sewa
upaya-upaya produktif dalam penciptaan nilai, karena upaya ekonomis dilakukan
pemilik modal dengan cara mengubah modal menjadi barang atau asset sehingga
unsur enterperneur tetap ada dan
hidup dalam memproduksi barang. Sedangkan bunga dapat mengendurkan proses
penciptaan nilai, karena pemberi utang tak terkait dengan penggunaan uang yang
dipinjamkannya sehingga unsur
enterperneur hilang sama sekali.
3) Sewa tidak
masuk didalam harga. Sedangkan bunga masuk didalam harga, melambatkan proses
produksi dan konsumen yanga akan terpukul.
4) Dalam sewa
unsur kerugian banyak sekali, maka penciptaan modal oleh pemiliknya tidak akan
menciptakan pengangguran di dalam masyarakat. Sedangkan bunga unsur kerugian
tidak ada sama sekali sehingga membuat si kaya tambah kaya dan si miskin tambah
miskin.
5) Dalam sewa
modal punya potensi untuk diubah menjadi property atau asset apapun, tetapi
potensi modal terserah pada pertimbangan penggunanya. Sedangkan dalam bunga
modal tetap milik pemiliknya, bukan pengutangnya
8.
Mengapa
Bunga Dilarang?
1)
Riba atau bunga menanamkan rasa kikir, mementingkan
diri sendiri, tak berperasaan, tak perduli, kejam, rakus, dan penyembah kepada
harta.
2)
Bunga mengembangbiakan kemalasan dan menimbulkan pendapatan
tanpa kerja.
3)
Bunga menyebabkan timbulnya kejahatan ekonomi,
penimbunan, kartel,dan monopoli.
4)
Investasi modal terhalang dari perusahaan yang tidak
mampu menghasilkan laba yang sama tinggi dari suku bunga yang berjalan,
sekalipun proyek yang ditangani oleh perusahaan itu amat penting bagi Negara.
5)
Bunga dipungut pada utang internasional malah lebih
buruk karena memperparah DSR
(debt-service ratio) Negara-negara debitur.
B.
Menjelaskan Konsep Perekonomian Tanpa Bunga atau Riba.
1.
Upaya-Upaya Menghapus Bunga
Beberapa yang diambil untuk menghapus bunga secara
berangsur-angsur dari sector perbankan dan finansial yaitu dengan
mengorganisasikan sistem utang yang bebas dari bunga. Banyak perusahaan
Mudharabah dan sewa menyewa yang akhir-akhir ini muncul di negara Islam,
terutama Pakistan, yang menawarkan untang dengan dengan basis profit and loss sharing sesuai dengan
prinsip mudarabah dan Syirkah. Di antara semua negara Muslim Pakistan adalah
negara yang terdepan dalam jihat Islam melawan riba atau bunga.
Transaksi profit
and loss sharing telah diperkenalkan kepada para deposan di Pakistan
sesudah tahun 1980, dan system pinjaman diluncurkan oleh dunia perbankan dengan
sistem mark up. Investment
Corporation of Pakistan dan National Investment (unit) Trust serta banyak
lembaga keuangan di Pakistan menarik deposito dari Investor kelas menengah
secara profit and loss sharing. Mahkamah
Syariah Federal Pakistan dalam
peradilannya di bulan November 1991 telah menyatakan bahwa semua jenis bunga
adalah riba.
2.
Kegagalan dan Sebab-Sebabnya
Sebab-sebab
kegagalan dunia Islam menghapus
bunga dari perekonomian saat ini,
yaitu:
1)
Perubahan
sosial-ekonomi yang dibawa ke dalam negeri-negeri Islam oleh dominasi politik
barat dan Revolusi Industri telah memperlemah nilai religius dan moral
masyarakat. Para pemimpin, yang sebenarnya memiliki masalah dengan legitimasi
mereka sendiri telah gagal menjadikan diri mereka sebagai teladan bagi
masyarakatnya. Penanaman nilai-nilai Islam seperti kejujuran, berkata benar,
sikap pertengahan dalam konsumsi, kesederhanaan dan sebagainya hanya lip
service.
2)
Para
ilmuan dan ahli ekonomi Islam sejauh ini telah gagal memberi pengganti bunga
yang praktis, sederhana dan aman. Tidak bisa diragunakan lagi bahwa bunga, yang
dengan jelas dinyatakan dilarang oleh Islam, Kristen dan Yahudi, dan banyak
justifikasi moral dan sosial-ekonomi bagi pelarangannya itu, mengandung
mekanisme sedehana dan praktis untuk mengatur hubungan antara pemberi utang dan
pengutang. Di satu pihak, bunga menjamin keamanan modal dan laba pemberi utang.
Di pihak lain, bunga membebaskan pengutang dari kekhawatiran.
Pengganti bunga yang ditawarkan oleh ekonom-ekonom Islam sering kali bersifat samar, rumit dan tidak praktis. Profit and loss sharing yang dijadikan pengganti bunga dirasa sulit oleh pemberi utang dan pengutang yang tidak bisa bekerja sama karena mereka saling mencurigai motif masing-masing sebagai akibat dari rendahnya standar moral dan etika bisnis di dalam masyarakat.
Menurut Chaudhry, mudharabah dan musyarakah tidak disebut sama sekali dalam Al-Quran dan Hadis. Keduanya sebenarnya bentuk organisai bisnis yang aturan mainnya dibuat oleh para ahli fikih (fukaha) Islam di zaman pertengahan. Bahkan para fukaha Islam klasik tidak menyatakan mudharabah dan musyarakah sebagai pengganti pinjaman berbunga. Para ahli ekonomi Islam saat ini berkhayal bahwa mudaharah dan musyarakah adalah pengganti yang islami bagi pinjaman berbunga. Namun, para ahli ekonomi Islam belum mampu memodifikasi konsep mudharabah dan musyarakah, misalnya yang sesuai stuasi saat ini dengan perekonomian modern yang kompleks.
Pengganti bunga yang ditawarkan oleh ekonom-ekonom Islam sering kali bersifat samar, rumit dan tidak praktis. Profit and loss sharing yang dijadikan pengganti bunga dirasa sulit oleh pemberi utang dan pengutang yang tidak bisa bekerja sama karena mereka saling mencurigai motif masing-masing sebagai akibat dari rendahnya standar moral dan etika bisnis di dalam masyarakat.
Menurut Chaudhry, mudharabah dan musyarakah tidak disebut sama sekali dalam Al-Quran dan Hadis. Keduanya sebenarnya bentuk organisai bisnis yang aturan mainnya dibuat oleh para ahli fikih (fukaha) Islam di zaman pertengahan. Bahkan para fukaha Islam klasik tidak menyatakan mudharabah dan musyarakah sebagai pengganti pinjaman berbunga. Para ahli ekonomi Islam saat ini berkhayal bahwa mudaharah dan musyarakah adalah pengganti yang islami bagi pinjaman berbunga. Namun, para ahli ekonomi Islam belum mampu memodifikasi konsep mudharabah dan musyarakah, misalnya yang sesuai stuasi saat ini dengan perekonomian modern yang kompleks.
3)
Bunga itu
dilarang oleh Islam untuk mencegah terjadinya eksploitasi dan penindasan. Para
ahli ekonomi Islam yang merekomendasikan sistem mudarabah dan profit and loss
sharing untuk pemberi utang sebagai pengganti bunga tidak melakukan apa-apa
untuk melindungi kepentingan pemberi utang, misalnya dalam sistem perbankan
modern. Bukan rahasia lagi, banyak bisnis yang tidak memberi return jujur
kepada para pemegang saham mereka. Jika bank-bank memberi pembiayaan dengan
cara mudharabah atau musyarakah, yang dalam praktiknya sama dengan penyertaan
modal dalam perusahaan-perusahaan joint stock, itu sama artinya menyerobot
tabungan para deposan.
4)
Para
pendukung ekonomi Islam belum memberikan solusi memuaskan terhadap persoalan
yang dihadapi pemerintah, yakni bagaimana pemerintah bisa memperoleh utang dari
sumber internal maupun eksternal tanpa bunga. Apakah mungkin menerima dana
asing misalnya dari International Monetary Fund (IMF) atau Bank Dunia sebagai
agen pemberi utang dana internasional kepada negara-negara Islam termasuk
Indonesia, tanpa bunga? Bagaimana kesepakatan dagang internasional dilakukan
tanpa bunga? Harus diakui bahwa negera-negara Islam saat ini masih memiliki
ketergantungan pada negara-negara maju yang mesin penggerak ekonominya
menggunakan sistem bunga. Dapatkah negara-negara Islam berkembang dan
terbelakang menghapuskan bunga? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang hanya sedikit
mendapatkan perhatian dari ekonom-ekonom Islam dewasa ini.
5)
Sebab terakhir
kegagalan menghapuskan bunga adalah bahwa kita berusaha mewujudkan yang tidak
mungkin. Bukan bunga yang tidak bisa dihilangkan dari perekonomian, tetapi
bunga tidak bisa dihilangkan dari perekonomian kapitalistis yang saat ini masih
memimpin perekonomian dunia. Bunga adalah tulang punggung sistem tersebut.
Bunga seperti sebuah pilar yang menyangga bangunan besar sistem kapitalisme.
3.
Solusi Nyata Mengenai Masalah Bunga
Solusi rill bagi masalah bunga terletak pada penegakan
total seluruh sistem ekonomi Islam. Penegakan sistem ekonomi Islam secara
parsial atau sebagian saja tidak aka nada hasilnya. Al Qur’an telah menyatakan
: “Hai orang-orang yang beriman ,
masuklah kalian kedalam Islam secara keseluruhan dan janganlah kalian ikuti
langkah-langkah setan…” (QS. Al Baqarah : 208). Lima pilar yang merupakan
komponen terpenting dalam sistem ekonomi Islam, yaitu:
1)
Perbedaan yang
jelas antara halal dan haram.
2)
Distribusi
kekayaan yang adil melalui zakat, sedekah, dan hokum pewaris (keadilan sosial).
3)
Pemberian
kebutuhan dasar bagi setiap warga negara (jaminan sosial).
4)
Penimbunan harta
dilarang dan diarahkan pada sirkulasinya di dalam saluran- saluran produktif.
5)
Penghapusan
bunga.
Penegakan seluruh sistem ekonomi Islam yang lengkap
dan sepenuh hati akan mengantarkan ke suatu era ekonomi baru bagi umat Islam,
suatu tingkat kemakmuran umum akan menyebar di dalam masyarakat Islam, jaringan
sistem jaminan sosial yang luas, standar kehidupan yang layak diatas tingkat
minimal, layanan kesehatan, dan pendidikan.
4.
Hutang Piutang Dalam Sistem Islam
Jika seorang
Muslim membutuhkan hutang maka ia akan meminjam pada kawan atau kerabatnya
tanpa bunga. Apa bila kawan atau kerabatnya tidak dapat memberikan utang maka
pembendaharaan negara (baitulmal)
akan ikut campur dengan memberinya Qardhul
Hasan (utang tanpa bunga) kepada orang yang memerlukan. Hutang harus
dibatasi hanya sebesar kebutuhannya saja dan hutang hendaknya diambil dari sumber-sumber internal dan bebas
bunga. Utang harus segera dilunasi segera mungkin karena tanggungan utang untuk
diperpanjang atau dijadikan kebiasaan akan merugikan diri sendiri dan orang
lain.
5.
Perbankan dan Asuransi di Dalam Perekonomian Islam
Bank berutang dalam bentuk tabungan yang terdiri dari
tiga jenis yaitu : tabungan, deposito, dan deposito berjangka. Bank memberi
utang dengan tiga cara, yaitu: penarikan uang, kredit tunai, dan discounting of bills. Fungsi lain dari
bank adalah sebagai transfer data, jual beli saham, membayar listrik dan
telepon,dll.
Dalam perbankan Islam, pemegang saham, deposan, dan
penghutang semuanya berpartisipasi dalam basis profit and loss sharing. Mekanime, cara, dan alat yang berhubungan
dengan bekerjanya system kerjasama harus dikembangkan berdasarkan ajaran Islam.
Perbankan Islam didasarkan pada prinsip kerjasama (partnership. Perbankan Islam tetap melakukan fungsinya berutang
dan memberi utang secara profit and loss
sharing, bukan menarik dan membayar bunga, sementara untuk layanan lainnya
ia akan menarik fee.
Perubahan dari perbankan berbasis bunga menjadi
perbankan bebas bunga di dalam perekonomian Islam akan membawa kebaikan bagi
perekonomian. Dalam sistem yang berlangsung sekarang adalah orang-orang yang
licik menghutang dengan bunga dari bank lalu membangun kerajaan bisnis yang
menyebabkan terjadinya konsentrasi kekayaan ditangan sedikit orang saja.
Dalam sistem perekonomian Islam tidak didasarkan pada
bunga melainkan pada profit and loss
sharing, maka modal diberikan sebagai penyetaran tidak sebagai hutang,
sistem ini akan menumbuhkan usaha kecil dan menengah yang akan mendorong
pembangunan ekonomi suatau bangsa.
Empat unsur yang menjadikan suatu transaksi menjadi
haram dalam sistem ekonomi Islam, yaitu: riba
(bunga), maisir (judi), gharar (resiko atau ketidakpastian), dan
jahalah (tak diketahui). Jika
menganalis kontrak asuransi modern maka terdapat empat unsur haram di dalamanya
yang derajatnya cukup besar sehingga menjadi illegal dalam Islam. Oleh karena
itu jika sistem perekonomian Islam diberlakukan maka asuransi komersial modern
tidak akan punya tempat dalam tanah Islam.
Para ahli ekonomi Islam dan pakar asuransi berpendapat
bahwa kebutuhan kaum Muslim akan dipenuhi dengan bentuk asuransi dengan prinsip
saling menolong dan kebersamaan. Dalam bentuk asuransi tersebut setiap pemegang
polis bertindak sebagai penjamin dan sebagai terjamin. Bentuk ini dapat di
terima oleh Islam. Jika ingin dilakukan modifikasi, maka hendaknya dilakukan
secara hati-hati sehingga tidak ada aturan Islam yang dilanggar.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Sharif Chaudry.
2014. Sistem Ekonomi Islam Prinsip Dasar. Jakarta : Prenada Media
Group.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar