Kamis, 19 Mei 2016

Konsep Perekonomian Tanpa Bunga atau Riba.



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari, perilaku riba ternyata telah membudaya. Kurangnya pengetahuan tentang riba, hukum – hukum yang mendasari riba, sebab – sebab diharamkannya riba, pembagian riba, hal - hal yang menyebabkan riba serta  dampak yang ditimbulkan oleh riba tersebut.
Riba merupakan pendapatan yang di peroleh secara tidak adil. Riba telah berkembang sejak zaman       Jahiliyah hingga sekarang ini. Sejak itu banyaknya masalah-masalah ekonomi yang terjadi di masyarakat dan telah menjadi tradisi bangsa arab terhadap jual beli maupun pinjam-meminjam barang dan jasa. Sehingga sudah mendarah daging, bangsa arab memberikan pinjaman kepada seseorang dan memungut biaya jauh di atas dari pinjaman awal yang di berikan kepada peminjam akibatnya banyaknya orang lupa akan larangan riba.
Sejak datangnya Islam di masa Rasullullah SAW. Islam telah melarang adanya riba. Karena sudah mendarah daging, Allah SWT melarang riba secara bertahap. Allah SWT melaknat hamba-hambanya bagi yang melakukan perbuatan riba. Perlu adanya pemahaman yang luas, agar tidak terjerumus dalam riba. Karena  riba menyebabkan tidak terwujudnya kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh.

B.     Rumusan Masalah
1.       Apakah pengertian bunga atau riba?
2.       Bagaimana konsep perekonomian tanpa bunga atau riba?

C.    Tujuan Pembahasan
1.       Untuk mengetahui pengertian bunga atau riba.
2.       Untuk mengetahui konsep perekonomian tanpa bunga atau riba.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Menjelaskan Pengertian Bunga atau Riba.

1.      Al Quran Tentang Bunga/Riba
Di masa awal munculnya Islam, bunga telah ada di dalam masyarakat Arab baik dalam transaksi pinjaman uang atau barter komoditas, sehingga bunga telah mengakar dalam kehidupan ekonomi masyarakat, maka dalam melarang bunga Al Qur’an diwahyukan secara berangsur-angsur, sehingga kehidupan masyarakat tidak mendadak kacau. Ayat-ayat Al Qur’an yang berhubungan dengan bunga, yaitu:
1.      Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdirimelainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena (tekanan) penyakit gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barang siapa mendapatkan peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya, dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa yang mengulangi (mengambil riba), maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan bergelimang dosa. (QS. Al-Baqarah : 275-276)
2.      Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS. Al-Baqarah: 278-279)
3.      Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. Ali-‘Imran : 130)
4.      Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih. (QS. An-Nisaa’: 161)
5.      Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). (QS. Ar-Ruum: 39)

Penjelasan ayat-ayat tersebut:
Riba itu ada dua macam: Nasi'ah dan Fadhl. Riba Nasiah adalah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba Fadhl adalah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang umum terjadi di masyarakat Arab zaman jahiliyah.
Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan. Yang dimaksud dengan memusnahkan riba ialah memusnahkan harta itu atau meniadakan berkahnya. Sedangkan yang dimaksud dengan menyuburkan sedekah ialah mengembangkan harta yang telah dikeluarkan sedekahnya atau melipat gandakan pahalanya serta memberkahi harta itu. Maksudnya ialah orang-orang yang menghalalkan riba dan tetap melakukannya. Yang dimaksud riba di sini ialah riba nasi’ah. Menurut sebagian besar ulama bahwa riba nasi’ah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda.
Ø  Al Qur’an Surat Ar-Ruum : 39 menjelaskan mengenai bunga dibandingkan dengan zakat, bahwa bunga tidak menambah harta tetapi mengurangi zakat meningkatkan harta secara berlipat-lipat.
Ø  Al Qur’an Surat Ali-‘Imran : 130 menjelaskan larangan untuk tidak memakan bunga yang berlipat hinga dua atau empat kali jumlah asal pinjaman.
Ø  Al Qur’an Surat An-Nisaa’: 161 menjelaskan agar kaum Muslimin mematuhi perintah Al Qur’an mengenai pelarangan bunga agar tidak menderita seperti kaum Yahudi yang melanggar larangan bunga.
Ø  Al Qur’an Surat Al-Baqarah : 275-276 dan 278-279, menjelaskan tentang perbedaan antara perdagangan (bai’) dan bunga (riba), mengutuk bunga dan pemakannya dan memuji keberkahan sedekah, dan melarang pemungutan bunga.

2.      Hadis-Hadis Nabi Muhammad SAW Tentang Bunga
1.      Abu Sa’id Al-Khudri meriwayatkan, bahwa Rasululloh SAW bersabda: “Emas untuk emas, perak untuk perak, gandum untuk gandum, bur untuk bur, kurma untuk kurma, garam untuk garam, sama setara tunai. Barang siapa memberi atau mengambil lebih, maka baik pemberi maupun penerima sama-sama mengambil riba”. (Muslim)
2.      Abu Sa’id Al-Khudri meriwayatkan, bahwa Rasululloh SAW bersabda: “Jangan kalian menjual emas dengan emas kecuali yang sama beratnya, janganlah kalian melebihkan sebagian diatas sebagian yang lain, janganlah kalian menjual perak dengan perak kecuali yang sama beratnya dan janganlah kalian melebihkan sebagian diatas sebagian yang lain, dan janganlah kalian yang tidak ada diantara barang-barang itu dengan yang ada”. (Muttafaq ‘alaih). Di dalam riwayat lain disebutkan : “Jangan menukar emas dengan emas, perak dengan perak kecuali yang sama beratnya. (Bukhori dan Muslim)
3.      Abu Sa’id Al-Khudri meriwayatkan, bahwa Bilal datang kepada Rasulullloh SAW sambil menyerahkan kurma Barny’. Lalu Nabi Muhammad SAW bertanya kepadanya,Dari mana engkau mendapatkan kurma ini? Bilal menjawab, Tadinya kami mempunyai kurma yang kulitasnya rendah, lalu saya menukar dua sha’ dengan satu sha’ kurma Barny”,  Kemudian Nabi bersabda, Masya Allah. Ini adalah riba yang sebenarnya, janganlah engkau melakukannya, tapi jika kamu mau membeli, juallah dahulu kurmamu itu kemudian kamu beli kurma yang kamu inginkan”. (Bukhori dan Muslim)
4.      Usamah bin Zaid meriwayatkan, bahwa Rasululloh SAW bersabda: “Riba ada dalam janji. Di dalam riwayat lain disebutkan : “Tidak ada riba dalam pertukaran tunai”. (Bukhori dan Muslim)
5.      Umar bin Al-Khatthab Radiallahu ‘Anhu, meriwayatkan, bahwa Rasululloh SAW bersabda: “Jual beli emas dengan emas adalah riba kecuali secara tunai, perak dengan perak adalah riba kecuali dengan tunai, biji gandum dengan gandum adalah riba kecuali secara tunai, tepung gandum dengan tepung gandum adalah riba kecuali transaksi secara tunai”. (Bukhori dan Muslim)
6.      Abu Said al-Khudry dan Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa Rasululloh SAW mengangkat seorang amil zakat untuk daerah Khaibar. Ia kemudian membawa kepada beliau kurma yang bagus; Lalu Rasulullah SAW bertanya: "Apakah setiap kurma Khaibar seperti ini?". Ia menjawab: Demi Allah tidak, wahai Rasulullah. Kami menukar satu sho' seperti ini dengan dua sho', dan dua sho' dengan tiga sho. Lalu Rasulullah SAW bersabda: "Jangan lakukan itu, juallah semuanya dengan dirham, kemudian belilah kurma yang bagus dengan dirham tersebut." Beliau bersabda: "Demikian juga dengan benda-benda yang ditimbang juga sama seperti itu." (Muslim)
7.      Abu Sa’id Al-Khudri meriwayatkan, bahwa Rasululloh SAW bersabda: “Jangan menukar dua sha’ kurma dengan satu sha’ kurma dan jangan pula menukar dua dirham dengan satu dirham karena itu adalah riba”. (Bukhori)
8.      Disampaikan oleh Abu Bakar bahwa Rasululloh SAW bersabda: “Jangan menjual perak dengan perak, emas dengan emas kecuali dengan berat yang sama, dan memerintahkan agar kami membeli emas dengan perak menurut kehendak kami”. (Bukhori)
9.      Abu Sa’id Al-Khudri meriwayatkan, bahwa Rasululloh SAW bersabda: “Jangan kalian menjual emas dengan emas dan perak dengan perak kecuali jika kuantitasnya sama, dan jangan pula dengan jenis yang sama dalam kuntitas yang kurang, dan janganlah kalian menukar yang ada dengan yang tidak ada”.  (Bukhori)
10.  Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa Rasululloh SAW bersabda: “Juallah satu dirham dengan satu dirham, jangan lebih”. (Al-Muwattha’)
11.  Utsman meriwayatkan, bahwa Rasululloh SAW bersabda: “Jangan menjual satu dinar dengan dua dinar, satu dirham dengan satu dirham”. (Al-Muwattha’)
12.  Abu Sa’id Al-Khudri meriwayatkan, bahwa Bilal datang kepada Rasulullloh SAW sambil menyerahkan kurma hijau. Lalu Nabi Muhammad SAW bertanya kepadanya,Dari mana engkau mendapatkan kurma ini? Bilal menjawab, “Kami mempunyai kurma yang kulitasnya rendah, lalu kamimenukar dua sha’ darinya dengan satu sha’ kurma kurma berkualitas baik ini”,  Kemudian Nabi bersabda, Masya Allah. Ini adalah riba yang sebenarnya, janganlah engkau melakukannya, tapi jika kamu mau membeli, juallah dahulu kurmamu itu kemudian kamu beli kurma yang kualitasnya baik. (Bukhori)
13.  Sa'ad Ibnu Abi Waqqash berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW ditanya tentang hukumnya membeli kurma basah dengan kurma kering. Beliau bersabda: "Apakah kurma basah itu berkurang jika mengering?". Ia menjawab: “Ya. Lalu beliau melarang hal itu”. (Malik, Tirmidzi, Abu Dawud, Nasai, dan Ibnu Majah)
14.  Samurah bin Jundub meriwayatkan, bahwa Rasululloh SAW, melarang pertukaran binatang dengan binatang dengan janji”. (Tirmidzi, Abu Dawud, dan Nasa’i)
15.  “Jabir melaporkan bahwa Nabi Muhammad SAW melarang pertukaran kurma subrah yang takaranya tidak diketahui dengan yang takarannya jelas”. (Muslim)
16.  Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW berkata, “Pada malam perjalanan Mi’raj, aku melihat orang-orang yang perut mereka seperti rumah, di dalamnya terpenuhi oleh ular-ular yang kelihatan dari luar. Aku bertanya kepada Jibril “Siapakah mereka itu. Jibril menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang memakan riba.” (Ahmad dan Ibnu Majah)
17.  Umar bin Al-Khatthab Radiallahu ‘Anhu, meriwayatkan, “ Yang terakhir diwahyukan adalah ayat tentang riba, maka berhentilah memakan riba”.
18.  Abdullah bin Handhalah melaporkan bahwa Rasululloh SAW bersabda: “Satu dirham riba yang diambi oleh seseorang dengan sengaja lebih besar dosanya dari pada 36 kali berzina”. (Ahmad dan Daruqutni)
19.  Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW bersabda, Riba itu mengadung tujuh puluh macam dosa dan riba yang paling ringan dosanya ialah seperti dosanya seseorang yang berzina dengan ibunya sendiri.”(Abu Dawud dan Ibnu Majah)
20.  Ibnu Masud meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW bersabda, Walaupun riba meningkatkan harta, pada akhirnya akan mengarah pada penggurangan.”(Ibnu Majah)
21.  Jabir meriwayatkan bahwa Rasulullah “Mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya, dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya”. Kemudian beliau bersabda, “Mereka itu semuanya sama (dalam dosa).” (Muslim)
22.  Nabi Muhammad dalam haji wada’ dalam khotbah terakhirnya bersabda: “ Segala bentuk harga (riba) telah dihapus, hanya modalmu saja yang boleh kamu miliki, jangan menzalimi maka kamu tidak akan dizalimi. Allah telah memberikan perintah bahwa bunga itu di haramkan secara total. Riba yang pertamaaku hapus adalah ribayang harus dibayarkan kepada ‘Abbas bin ‘Abdul Muthalib.”
23.  Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW bersabda, Akan dating suatu masaketika tak seorang pun yang tidak makan bunga. Jika ia tak makan bunga, maka ia akan terkena debunya.” (Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Majah)
Kesimpulan dari hadist tersebut adalah :
1)      Barter tidak disukai, karena berpotensi mengandung riba.
2)      Riba lebih jahat dari pada perzinaan.
3)      Nabi Muhmmad secara tegas menghapus bunga dalam sistem ekonomi Islam.
4)      Bukan hanya makan bunga saja yang di haramkan, melainkan segala sesuatu yang berhubungan dengan bunga juga haram, seperti membayar bunga, menuliskannya dan menjadi saksinya.

3.      Jenis-Jenis Riba di Masa Kehadiran Islam
Ada dua macam riba yaitu: riba nasi’ah (pinjaman uang) dan riba fadhl (transaksi barter).
1)      Riba Nasi’ah
Riba Nasi’ah berarti bunga yang dikenankan pada uang pinjaman. Contoh riba nasi’ah: di zaman Jahiliah jika seorang debitur berutang kepada kreditur, tetapi tidak punya uang untuk melunasi ketika jatuh tempo, maka ia akan meminta tambahan waktu kepada kreditur atau pemberi utang. Kreditur mengabulkan permintaan itu tetapi jumlah utang pokoknya diperbesar sehingga waktu diperpanjang dan jumlah utang juga diperbesar. Tambahan atas utang pokok itu yang disebut riba. Riba nasi’ah mengandung tiga elemen yaitu:
a.       Kelebihan dari utang pokok.
b.      Menentukan besarnya kelebihan dalam hubungan waktu.
c.       Kelebihan tersebut menjadi syarat berlangsungnya transaksi.
2)      Riba Fadhl
Riba Fadhl adalah nama bunga pada transaksi komoditas terletak pada pembayaran tambahan pada debitur kepada kreditur dalam pertukaran komoditas sejenis seperti gandum dengan gandum, bur dengan bur, kurma dengan kurma,dll. Unsur-unsur riba fadhl, yaitu:
a.       Keduanya barang yang dipertukarkan adalah homogeny atau sejenis, seperti emas dengan emas, jagung dengan jagung.
b.      Jumlah keduanya berbeda dalam timbangan maupu takaran.
c.       Transaksi tidak berlangsung secara tunai.

4.      Apakah Riba itu?
1)      Menurut Muhammad Asad.
Dalam pengertian terminologi yang umum,istilah tersebut bermakna “tambahan” kepada atau “kenaikan” dari sesuatu melebihi dan di atas jumlah atau ukurannya yang asal. Dalam terminologi Al-Qur’an, istilah riba itu menunjukkan tambahan apapun, melalui bunga, terhadap sejumlah uang atau barang yang dipinjamkan oleh seseorang atau lembaga kepada orang atau lembaga lain. Mengingat masalah ini, dalam hubungannya dengan situasi ekonomi yang berlaku luas pada atau sebelum masa itu, sebagian besar fuqaha zaman dahulu melihat “tambahan” ini sebagai ‘laba’ yang diperoleh malalui pinjaman-berbunga apa pun juga, tidak tergantung pada tingkat bunga dan motivasi ekonominya.
2)      Menurut Syeh Abul A’la al-Mauludi.
Kata Arab ‘riba’ secara literal, berarti “peningkatan atas” atau “tambahan untuk” apa pun juga. Secara teknis, istilah itu digunakan untuk menyebut sejumlah tambahan yang dikenakan oleh kreditur kepada debitur secara tetap pada pokok utang yang ia pinjamkan, yakni bunga. Pada masa diwahyukannya Al-Qur’an, bunga dipungut dengan berbagai cara. Misalnya, seseorang menjual sesuatu dan menetapkan suatu jangka waktu bagi pembayarannya, dan jika pembeli tidak mampu membayar dalam waktu yang telah ditetapkan itu, maka ia diberi perpanjangan waktu tetapi harus menambah jumlah uang yang ia harus bayarkan. Atau seseorang meminjamkan sejumlah uang dan minta agar debitur melunasinya bersama dengan sejumlah tambahan uang yang telah disepakati dalam periode waktu tertentu, atau suatu tingkat bunga ditetapkan untuk suatu masa tertentu dan jika pokok utang berikut bunganya tidak dibayar dalam jangka waktu tersebut, maka suku bunga dinaikkan karena perpanjangan waktu tersebut, dan sebagainya.
3)      Menurut Afzalur Rahman.
Afzalur Rahman menerangkan arti riba secara rinci berdasarkan pendapat beberapa fukaha Islam klasik sebagai berikut:
Ø  Al-Qur’an menggunakan kata riba untuk bunga. Menurut kamus, arti riba adalah kelebihan atau peningkatan atau surflus, tetapi, dalam ilmu ekonomi, kata itu berarti surflus pendapatan yang didapat oleh pemberi utang dari pengutang, lebih tinggi dan di atas jumlah pokok utang, sebagai imbalan karena menunggu atau memisahkan bagian yang likuid dari modalnya selama suatu jangka waktu tertentu.
Ø  Riba, di dalam Islam, secara khusus menunjuk pada kelebihan yang dituntut dengan suatu cara tertentu. Ibnu Hajar al-Asqalani, ketika membicarakan riba, menyatakan bahwa “intinya, riba adalah kelebihan, baik dalam komoditas (itu sendiri) atau pun dalam uang, seperti dua dinar ditukarkan dengan tiga dinar.

Sesudah menjelajahi ayat-ayat al-Qur’an, Hadis Nabi kaum Muslimin dan pandangan para ilmuan Muslim, kita pun dapat memahami makna konsep Islam tentang riba. Ayat 276 surat 2 al-Baqarah (2) dalam al-Qur’an memerintah kita untuk menghentikan riba sedang ayat 279 membolehkan pemberi utang mengambil kembali sejumlah pokok utang yang dipinjamkannya, tidak lebih. Itu berarti bahwa riba adalah jumlah (uang) yang dipungut oleh pemberi utang dari debitur di atasmodal yang dia pinjamkan. Jumlah yang ditambahkan itulah yang dinyatakan haram oleh al-Qur’an. Jadi, menurut al-Qur’an, setiap tambahan yang diperoleh di atas pokok utang adalah ‘riba’ berapa pun tinggi atau rendahnya suku bunga yang dikenakan itu dan untuk apa utang itu diberikan.
Nabi Muhammad, dalam hadis beliau, telah menerangkan dan menjelaskan bahwa unsur riba itu didapati tidak hanya dalam pinjaman uang saja melainkan juga dalam semua bentuk transaksi barter ketika seseorang menerima kelebihan dari barang yang dipertukarkan. Dari khotbah Nabi yang beliau sampaikan waktu haji perpisahan (haji wada’), dengan mudah kita dapat menemukan definisi riba. Dalam khotbah tersebut, diriwayatkan bahwa Nabi bersabda: “Segala bentuk ‘riba’ dihapus; hanya pokok modalmu saja yang menjadi hakmu; Janganlah menzalimi maka kamu tidak akan dizalimi. Allah telah memberikan aturan bahwa bunga terlarang secara total. Bunga yang pertama saya hapus adalah bunga (yang seharusnya dibayar orang kepada) ‘Abbas bin ‘Abdul Muthalib dan saya nyatakan semua itu dihapus.” Jadi, semua bentuk riba telah dihapus oleh Nabi dan pemberi utang hanya boleh menerima kembali jumlah pokok yang telah dipinjamkannya, yang bermakna bahwa setiap tambahan terhadap jumlah pokok utang yang dipinjamkan adalah riba’ tanpa melihat tinggi dan rendahnya suku bunga yang dukenakan, dan tanpa melihat tujuan pemberian utang itu.
Sebagian sarjana Liberal menyatakan bahwa Islam hanya melarang bunga yang terlalu tinggi saja, yang dipungut oleh pemberi utang dari kaum miskin untuk tujuan konsumsi kebutuhan pribadi mereka. Tetapi pandangan ini jelas keliru menurut pandangan mayoritas sarjana Muslim modern yang menyatakan bahwa riba mencakup semua bentuk bunga atas pinjaman, tanpa melihat tujuan pengambilan utang itu, tanpa melihat pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi bunga itu, dan tanpa melihat pula tinggi rendahnya suku bunga maupun jangka waktunya.

5.      Bunga dan Perdagangan
                Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka mereka kekal di dalamnya. (QS Al-Baqarah: 275)
            Allah menghalakan perdagangan dan mengharamkan riba karena :
1.      Di dalam perdagangan sesorang menerima laba sebagai hasil dari insentif, keberanian berusaha, efisiensi, dan kerja keras.
2.      Bunga tidak diperoleh dari kerja keras maupun proses penciptaan nilai apapun.
3.      Bunga bukan merupakan imbalan bagi tenaga kerja, bahkan merupakan pendapatan yang didapat tanpa bekerja sama sekali.
4.      Bunga bersifat tetap, sedangkan laba bersifat fluktuasi.
5.      Dalam perdagangan ada resiko rugi, tetapi dalam bunga pemberi utang mendapatkan sejumlah uang tanpa perduli apakah peminjam mendapatkan laba atau menderita kerugian.

6.      Bunga dan Zakat
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. (QS Al-Baqarah : 276) 
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). (QS. Rum : 39)
Sedekah membimbing kearah perkembangan ekonomi dan menarik rahmat Allah, sedangkan bunga menahan pertumbuhan ekonomi dan membahayakan kemakmuran nasional seperti inflasi, pengangguran, distribusi kekayaan yang tidak merata, dan resesi. Zakat menunjang pertumbuhan ekonomi dengan dua cara, yaitu:
1)      Zakat mencegah penimbunan kekayaan dan mendorong sirkulasi investasi.
2)      Zakat di pungut dari si kaya yang jumlahnya sedikit kepada si miskin yang jumlahnya banyak, sehingga meningkatkan daya beli masyarakat miskin.
7.      Bunga dan Sewa
Perbedaan antara bunga dengan sewa, yaitu:
1)      Sewa adalah hasil dari insentif, keberanian berusaha, dan efisiensi. Hasil itu didapat setelah terjadinya proses penciptaan nilai, karena pemilik barang atau asset terlibat dalam pemanfaatan oleh pengguna. Sedangkan bunga pemberi utang tidak terkait dengan penggunaan uang yang pinjaman itu sesudah pinjamannya dirasa aman dan bunga yang akan diterimanya terjamin.
2)      Dalam sewa upaya-upaya produktif dalam penciptaan nilai, karena upaya ekonomis dilakukan pemilik modal dengan cara mengubah modal menjadi barang atau asset sehingga unsur enterperneur tetap ada dan hidup dalam memproduksi barang. Sedangkan bunga dapat mengendurkan proses penciptaan nilai, karena pemberi utang tak terkait dengan penggunaan uang yang dipinjamkannya sehingga unsur enterperneur hilang sama sekali.
3)      Sewa tidak masuk didalam harga. Sedangkan bunga masuk didalam harga, melambatkan proses produksi dan konsumen yanga akan terpukul.
4)      Dalam sewa unsur kerugian banyak sekali, maka penciptaan modal oleh pemiliknya tidak akan menciptakan pengangguran di dalam masyarakat. Sedangkan bunga unsur kerugian tidak ada sama sekali sehingga membuat si kaya tambah kaya dan si miskin tambah miskin.
5)      Dalam sewa modal punya potensi untuk diubah menjadi property atau asset apapun, tetapi potensi modal terserah pada pertimbangan penggunanya. Sedangkan dalam bunga modal tetap milik pemiliknya, bukan pengutangnya

8.      Mengapa Bunga Dilarang?
1)      Riba atau bunga menanamkan rasa kikir, mementingkan diri sendiri, tak berperasaan, tak perduli, kejam, rakus, dan penyembah kepada harta.
2)      Bunga mengembangbiakan kemalasan dan menimbulkan pendapatan tanpa kerja.
3)      Bunga menyebabkan timbulnya kejahatan ekonomi, penimbunan, kartel,dan monopoli.
4)      Investasi modal terhalang dari perusahaan yang tidak mampu menghasilkan laba yang sama tinggi dari suku bunga yang berjalan, sekalipun proyek yang ditangani oleh perusahaan itu amat penting bagi Negara.
5)      Bunga dipungut pada utang internasional malah lebih buruk karena memperparah DSR (debt-service ratio) Negara-negara debitur.
B.     Menjelaskan Konsep Perekonomian Tanpa Bunga atau Riba.
1.      Upaya-Upaya Menghapus Bunga
Beberapa yang diambil untuk menghapus bunga secara berangsur-angsur dari sector perbankan dan finansial yaitu dengan mengorganisasikan sistem utang yang bebas dari bunga. Banyak perusahaan Mudharabah dan sewa menyewa yang akhir-akhir ini muncul di negara Islam, terutama Pakistan, yang menawarkan untang dengan dengan basis profit and loss sharing sesuai dengan prinsip mudarabah dan Syirkah. Di antara semua negara Muslim Pakistan adalah negara yang terdepan dalam jihat Islam melawan riba atau bunga.
Transaksi profit and loss sharing telah diperkenalkan kepada para deposan di Pakistan sesudah tahun 1980, dan system pinjaman diluncurkan oleh dunia perbankan dengan sistem mark up. Investment Corporation of Pakistan dan National Investment (unit) Trust serta banyak lembaga keuangan di Pakistan menarik deposito dari Investor kelas menengah secara profit and loss sharing. Mahkamah Syariah Federal Pakistan  dalam peradilannya di bulan November 1991 telah menyatakan bahwa semua jenis bunga adalah riba.

2.      Kegagalan dan Sebab-Sebabnya
Sebab-sebab kegagalan dunia Islam menghapus bunga dari perekonomian saat ini, yaitu:
1)      Perubahan sosial-ekonomi yang dibawa ke dalam negeri-negeri Islam oleh dominasi politik barat dan Revolusi Industri telah memperlemah nilai religius dan moral masyarakat. Para pemimpin, yang sebenarnya memiliki masalah dengan legitimasi mereka sendiri telah gagal menjadikan diri mereka sebagai teladan bagi masyarakatnya. Penanaman nilai-nilai Islam seperti kejujuran, berkata benar, sikap pertengahan dalam konsumsi, kesederhanaan dan sebagainya hanya lip service.
2)      Para ilmuan dan ahli ekonomi Islam sejauh ini telah gagal memberi pengganti bunga yang praktis, sederhana dan aman. Tidak bisa diragunakan lagi bahwa bunga, yang dengan jelas dinyatakan dilarang oleh Islam, Kristen dan Yahudi, dan banyak justifikasi moral dan sosial-ekonomi bagi pelarangannya itu, mengandung mekanisme sedehana dan praktis untuk mengatur hubungan antara pemberi utang dan pengutang. Di satu pihak, bunga menjamin keamanan modal dan laba pemberi utang. Di pihak lain, bunga membebaskan pengutang dari kekhawatiran.
Pengganti bunga yang ditawarkan oleh ekonom-ekonom Islam sering kali bersifat samar, rumit dan tidak praktis. Profit and loss sharing yang dijadikan pengganti bunga dirasa sulit oleh pemberi utang dan pengutang yang tidak bisa bekerja sama karena mereka saling mencurigai motif masing-masing sebagai akibat dari rendahnya standar moral dan etika bisnis di dalam masyarakat.
Menurut Chaudhry, mudharabah dan musyarakah tidak disebut sama sekali dalam Al-Quran dan Hadis. Keduanya sebenarnya bentuk organisai bisnis yang aturan mainnya dibuat oleh para ahli fikih (fukaha) Islam di zaman pertengahan. Bahkan para fukaha Islam klasik tidak menyatakan mudharabah dan musyarakah sebagai pengganti pinjaman berbunga. Para ahli ekonomi Islam saat ini berkhayal bahwa mudaharah dan musyarakah adalah pengganti yang islami bagi pinjaman berbunga. Namun, para ahli ekonomi Islam belum mampu memodifikasi konsep mudharabah dan musyarakah, misalnya yang sesuai stuasi saat ini dengan perekonomian modern yang kompleks.
3)      Bunga itu dilarang oleh Islam untuk mencegah terjadinya eksploitasi dan penindasan. Para ahli ekonomi Islam yang merekomendasikan sistem mudarabah dan profit and loss sharing untuk pemberi utang sebagai pengganti bunga tidak melakukan apa-apa untuk melindungi kepentingan pemberi utang, misalnya dalam sistem perbankan modern. Bukan rahasia lagi, banyak bisnis yang tidak memberi return jujur kepada para pemegang saham mereka. Jika bank-bank memberi pembiayaan dengan cara mudharabah atau musyarakah, yang dalam praktiknya sama dengan penyertaan modal dalam perusahaan-perusahaan joint stock, itu sama artinya menyerobot tabungan para deposan.
4)      Para pendukung ekonomi Islam belum memberikan solusi memuaskan terhadap persoalan yang dihadapi pemerintah, yakni bagaimana pemerintah bisa memperoleh utang dari sumber internal maupun eksternal tanpa bunga. Apakah mungkin menerima dana asing misalnya dari International Monetary Fund (IMF) atau Bank Dunia sebagai agen pemberi utang dana internasional kepada negara-negara Islam termasuk Indonesia, tanpa bunga? Bagaimana kesepakatan dagang internasional dilakukan tanpa bunga? Harus diakui bahwa negera-negara Islam saat ini masih memiliki ketergantungan pada negara-negara maju yang mesin penggerak ekonominya menggunakan sistem bunga. Dapatkah negara-negara Islam berkembang dan terbelakang menghapuskan bunga? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang hanya sedikit mendapatkan perhatian dari ekonom-ekonom Islam dewasa ini.
5)      Sebab terakhir kegagalan menghapuskan bunga adalah bahwa kita berusaha mewujudkan yang tidak mungkin. Bukan bunga yang tidak bisa dihilangkan dari perekonomian, tetapi bunga tidak bisa dihilangkan dari perekonomian kapitalistis yang saat ini masih memimpin perekonomian dunia. Bunga adalah tulang punggung sistem tersebut. Bunga seperti sebuah pilar yang menyangga bangunan besar sistem kapitalisme.

3.      Solusi Nyata Mengenai Masalah Bunga
Solusi rill bagi masalah bunga terletak pada penegakan total seluruh sistem ekonomi Islam. Penegakan sistem ekonomi Islam secara parsial atau sebagian saja tidak aka nada hasilnya. Al Qur’an telah menyatakan : “Hai orang-orang yang beriman , masuklah kalian kedalam Islam secara keseluruhan dan janganlah kalian ikuti langkah-langkah setan…” (QS. Al Baqarah : 208). Lima pilar yang merupakan komponen terpenting dalam sistem ekonomi Islam, yaitu:
1)      Perbedaan yang jelas antara halal dan haram.
2)      Distribusi kekayaan yang adil melalui zakat, sedekah, dan hokum pewaris (keadilan sosial).
3)      Pemberian kebutuhan dasar bagi setiap warga negara (jaminan sosial).
4)      Penimbunan harta dilarang dan diarahkan pada sirkulasinya di dalam saluran- saluran produktif.
5)      Penghapusan bunga.
Penegakan seluruh sistem ekonomi Islam yang lengkap dan sepenuh hati akan mengantarkan ke suatu era ekonomi baru bagi umat Islam, suatu tingkat kemakmuran umum akan menyebar di dalam masyarakat Islam, jaringan sistem jaminan sosial yang luas, standar kehidupan yang layak diatas tingkat minimal, layanan kesehatan, dan pendidikan.

4.      Hutang Piutang Dalam Sistem Islam
Jika  seorang Muslim membutuhkan hutang maka ia akan meminjam pada kawan atau kerabatnya tanpa bunga. Apa bila kawan atau kerabatnya tidak dapat memberikan utang maka pembendaharaan negara (baitulmal) akan ikut campur dengan memberinya Qardhul Hasan (utang tanpa bunga) kepada orang yang memerlukan. Hutang harus dibatasi hanya sebesar kebutuhannya saja dan hutang hendaknya  diambil dari sumber-sumber internal dan bebas bunga. Utang harus segera dilunasi segera mungkin karena tanggungan utang untuk diperpanjang atau dijadikan kebiasaan akan merugikan diri sendiri dan orang lain.

5.      Perbankan dan Asuransi di Dalam Perekonomian Islam
Bank berutang dalam bentuk tabungan yang terdiri dari tiga jenis yaitu : tabungan, deposito, dan deposito berjangka. Bank memberi utang dengan tiga cara, yaitu: penarikan uang, kredit tunai, dan discounting of bills. Fungsi lain dari bank adalah sebagai transfer data, jual beli saham, membayar listrik dan telepon,dll.
Dalam perbankan Islam, pemegang saham, deposan, dan penghutang semuanya berpartisipasi dalam basis profit and loss sharing. Mekanime, cara, dan alat yang berhubungan dengan bekerjanya system kerjasama harus dikembangkan berdasarkan ajaran Islam. Perbankan Islam didasarkan pada prinsip kerjasama (partnership. Perbankan Islam tetap melakukan fungsinya berutang dan memberi utang secara profit and loss sharing, bukan menarik dan membayar bunga, sementara untuk layanan lainnya ia akan menarik fee.
Perubahan dari perbankan berbasis bunga menjadi perbankan bebas bunga di dalam perekonomian Islam akan membawa kebaikan bagi perekonomian. Dalam sistem yang berlangsung sekarang adalah orang-orang yang licik menghutang dengan bunga dari bank lalu membangun kerajaan bisnis yang menyebabkan terjadinya konsentrasi kekayaan ditangan sedikit orang saja.
Dalam sistem perekonomian Islam tidak didasarkan pada bunga melainkan pada profit and loss sharing, maka modal diberikan sebagai penyetaran tidak sebagai hutang, sistem ini akan menumbuhkan usaha kecil dan menengah yang akan mendorong pembangunan ekonomi suatau bangsa.
Empat unsur yang menjadikan suatu transaksi menjadi haram dalam sistem ekonomi Islam, yaitu: riba (bunga), maisir (judi), gharar (resiko atau ketidakpastian), dan jahalah (tak diketahui). Jika menganalis kontrak asuransi modern maka terdapat empat unsur haram di dalamanya yang derajatnya cukup besar sehingga menjadi illegal dalam Islam. Oleh karena itu jika sistem perekonomian Islam diberlakukan maka asuransi komersial modern tidak akan punya tempat dalam tanah Islam.
Para ahli ekonomi Islam dan pakar asuransi berpendapat bahwa kebutuhan kaum Muslim akan dipenuhi dengan bentuk asuransi dengan prinsip saling menolong dan kebersamaan. Dalam bentuk asuransi tersebut setiap pemegang polis bertindak sebagai penjamin dan sebagai terjamin. Bentuk ini dapat di terima oleh Islam. Jika ingin dilakukan modifikasi, maka hendaknya dilakukan secara hati-hati sehingga tidak ada aturan Islam yang dilanggar.


DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Sharif Chaudry. 2014. Sistem Ekonomi Islam Prinsip Dasar. Jakarta : Prenada Media Group.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar